Musik, Teknologi dan Partikel Kemanusiaan
Hampir tak ada parameter yang jelas
kapan musik menjadi sebuah hiburan, kapan pula harus dimaknai sebagai
seni, dan apa kaitan sesungguhnya antara musik dan nasib kehidupan
manusia jika kita menganggap musik itu sebuah pendidikan—bahkan
kebudayaan.
Terlepas dari berbagai dialektika
sepanjang sejarah, teknologi—sebagai ari- ari peradaban untuk pertahanan
dan inovasi—terus muncul dan berubah dari detik ke zaman, meladeni
kebutuhan manusia, baik yang sifatnya mempermudah, mempersulit, hingga
yang menjadikannya mesiu untuk menipu. Sekarang adalah era yang paling
baik untuk belajar mengenai sejarah sekaligus memprediksi berbagai
kemungkinan terbaik dan ternaif di masa depan.
Contoh sederhana bagi kemudahan
teknologi tersebut, misalnya, jika dulu orang merekam permainan gitar
mutlak harus di studio, sekarang bisa di mana saja berkat sebuah
teknologi mungil bernama USB Guitar Link yang besarnya tidak lebih dari
tempe goreng ukuran standar. Tinggal dicolok ke komputer jinjing dalam
waktu maksimum dua detik, lalu siap rekam.
Teknologi musik juga bisa menjadikan orang stres tanpa kenal ampun, memelototi komputer seharian untuk coding (melakukan pemrograman), menciptakan bunyi-bunyi sintesis secara mandiri. Lalu muncul sonic art
yang estetikanya ada pada unsur teknis yang membutuhkan logika
matematika sekaligus fisika bunyi yang tidak mudah, butuh konsentrasi
tinggi.
Teknologi musik juga telah berhasil
menciptakan ”era sampah” yang menjadikan musik tidak memiliki derajat
sama sekali. Jerih payah kekaryaan di dalam musik tak perlu diungkit
ketika itu semua sudah tersebar di internet. Bisa diunduh
segratis-gratisnya. Dengan atau tanpa uang, musik adalah sesuatu yang
terus jalan menemukan variasi-variasinya setiap hari.
Kontes-kontes musik ”murahan” yang
mengabdi pada spektakel-spektakel pertunjukan semu tak ubahnya kedok
dari hegemoni ekonomi-politik yang menjauhkan nilai-nilai sejati,
melunturkan keluhuran akal-budi, serta menyedot pori-pori kemanusiaan
yang mengakibatkan dangkalnya pemaknaan akan seni.
Industri musik
Perjalanan industri musik Indonesia,
misalnya, selama sedikitnya tujuh dekade dalam tujuh kepemimpinan ini
hanya menghasilkan kerugian material yang tidak sebanding dengan
kualitas hasil karya. Tidak bisa diharapkan untuk mendukung Negara dan
Bangsa ini menjadi citra sesungguhnya dari kebesaran kebudayaannya. Dan
Negara juga dipertanyakan peran-sertanya bagi masa depan musik.
Hal itu secara nyata ditandai dengan
tidak adanya lagi ruang bagi musik untuk anak-anak. Tak ada proteksi
bagi hiburan-hiburan musik yang muncul di televisi. Yang ada hanya
tontonan dewasa yang ditonton anak-anak. Sehingga perilaku anak-anak
zaman sekarang adalah copy-paste dari para orang-tuanya yang setiap hari
memelototi televisi. Apakah Negara tidak mampu untuk beritikad baik
kepada masa depan anak-anak? Sungguh hal ini merupakan dosa yang sulit
untuk dinetralkan.
Pada abad ke-21 ini, di mana setiap
orang berlomba menemukan keasyikannya sendiri melalui teknologi (musik)
yang berkembang, memunculkan skeptisme baru terhadap masa depan musik
(kemanusiaan). Pendidikan musik yang berada di jalur formal dalam ukuran
strata akademis juga belum paralel terhadap kebutuhan akan musik
sebagai sebuah pencerahan atau sumbangsih bagi Bangsa. Yang sering
terjadi adalah proyek-proyek yang menguntungkan kelompok dan jaringan
tertentu, bahkan individu yang kurang memedulikan nasib generasi
mendatang.
Musik lalu digiring menjadi bagian dari
industri kreatif yang mengupayakan mikro daripada makro, tetapi riset
yang sungguh-sungguh terhadap data potensi-potensi local genius
orang-orang kreatif Indonesia tak pernah menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Alasannya kering dana. Padahal pada era med-sos sekarang
nyaris tak ada sekat yang cukup berarti untuk berjejaring satu sama
lain secara terbuka dan kapan saja.
Lalu apa yang diperjuangkan Negara ini
mengenai kebudayaannya? Apakah pilar-pilar kebudayaan itu harus selalu
disertai permainan ekonomi-politis, ataukah kita bisa bekerja secara
mandiri tanpa harus bergantung apa-apa kecuali niat tulus pada komitmen
naluri dan nurani masing-masing?
Musik adalah barang sepele, tetapi sudah
banyak yang percaya kekuatannya. Maka dari itu setiap orang terus
berinovasi dengan kemampuan teknologis demi meningkatnya kualitas
kemanusiaan. Bagi Negara yang sadar (dari naluri) akan kekuatan besar
musik dan turut mendukung misi-misi senimannya, seperti Jepang,
Hongaria, dan Polandia, tidak pernah merasa perlu untuk mendiskusikan
kembali hal-hal yang tidak perlu dibicarakan. Mereka hanya berangkat
dari hal-hal sederhana yang realistis dengan disertai kegigihan
mengumpulkan bibit-bibit potensi yang dipupuk serius lalu menjadikannya
tabungan bagi masa-depan.
Kita sebaliknya, selalu mengumbar
tema-tema besar untuk penyelenggaraan seminar atau gelaran yang
menghabiskan dana besar tanpa hasil yang terasa bagi perjalanan nilai
hakiki kemanusiaan. Bukankah ini ironi?
Erie Setiawan ; Direktur Art Music Today; Aktivis Musik |
http://widiyanto.com/musik-teknologi-dan-partikel-kemanusiaan/
0 komentar:
Posting Komentar